MPPK-IDI.COM – “Dokter juga manusia, butuh dilindungi dan dihargai.” Kalimat ini makin relevan di tengah realita profesi kedokteran yang makin kompleks.
Tekanan kerja tinggi, beban administratif, hingga masalah hukum bisa menimpa siapa saja di dunia medis.
Nah, di sinilah peran Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian (MPPK) mulai terasa penting.
Saat ini, MPPK untuk dokter Indonesia mulai dikenal bukan hanya sebagai lembaga formal, tapi juga sebagai pengayom yang benar-benar peduli terhadap nasib tenaga medis.
Siapa Sebenarnya MPPK dan Apa Fungsinya?
Buat kamu yang belum kenal, MPPK adalah bagian dari struktur keorganisasian dokter yang dibentuk untuk memastikan pelayanan medis berjalan profesional dan sesuai etika.
Tapi di luar tugas resminya, MPPK untuk dokter Indonesia kini bertransformasi menjadi wadah yang lebih proaktif dan responsif.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI (2024), tercatat lebih dari 220.000 dokter aktif di Indonesia.
Tapi sayangnya, hanya sebagian kecil yang merasa benar-benar didampingi ketika menghadapi masalah etik atau administratif.
Di sinilah MPPK untuk dokter Indonesia mencoba hadir sebagai solusi.
Dr. Amalia Yusuf, Sp.KJ, anggota tim pengembangan MPPK, mengatakan kepada Detik Health, “Kami ingin jadi tempat dokter bisa bicara, curhat, dan minta solusi, bukan cuma disuruh ikut aturan. MPPK ingin jadi pengayom, bukan pengawas semata.”
MPPK juga aktif mengembangkan program berbasis kebutuhan nyata di lapangan, seperti:
- Pelatihan etik dan hukum kedokteran secara daring
- Klinik konsultasi etik untuk kasus medis yang dilematis
- Pendampingan bagi dokter yang menghadapi masalah hukum atau malpraktik
MPPK untuk Dokter Indonesia: Bukan Sekadar Nama, Tapi Gerakan
Yang bikin MPPK makin relevan adalah pendekatannya yang manusiawi. Alih-alih menilai atau menghukum, MPPK untuk dokter Indonesia ingin hadir lebih awal—memberi pendampingan sebelum masalah jadi besar.
Ini jadi angin segar bagi para dokter muda yang sering merasa sendirian menghadapi beban kerja dan tekanan birokrasi.
Di banyak daerah, MPPK mulai membentuk jejaring wilayah agar lebih dekat dengan para praktisi.
Program seperti MPPK Mendengar, di mana dokter bisa curhat soal dilema etis dan hukum lewat forum daring, sudah mulai banyak dimanfaatkan.
Bahkan, menurut survei internal MPPK 2025, lebih dari 78% dokter muda merasa lebih tenang setelah ikut sesi konsultasi daring tersebut.
Dr. Yoga Prasetya, seorang dokter umum di Surabaya, bilang, “Dulu saya pikir organisasi itu cuma formalitas. Tapi waktu saya butuh bantuan hukum soal surat izin praktik, yang gerak cepat justru MPPK. Saya merasa dilindungi.”
Jadi, kalau kamu dokter—baik yang masih internship, residen, atau sudah senior—coba deh lihat lebih dekat bagaimana MPPK untuk dokter Indonesia bisa jadi tempat kamu berkembang sekaligus berlindung.
Karena profesi mulia ini butuh organisasi yang juga punya hati. (*)
Leave a Reply